KALSEL

Warga Kalimantan harus tau sejarah Kota Ghaib Saranjana, ini asal namanya!

IlustrasuKALSEL, Kabarrakyat62.com – Di masa pemerintahan Hindia Belanda, nama wilayah Saranjana tercantum di dalam peta Kalimantan, yang kala itu masih bernama Borneo.

Namun, sejak kemerdekaan Republik Indonesia, nama Saranjana hilang dari peta Kalimantan atau Indonesia. Entah karena adanya perubahan administrasi atau faktor lainnya.

Nama Saranjana selalu muncul kembali, tapi dikaitkan dengan hal mistis sebagai kota gaib. Bahkan banyak juga yang percaya bahwa kota itu dihuni oleh sebangsa jin dengan tampilan kota yang modern dan canggih serta makmur.

“Secara ilmiah memang ada fakta mental di benak masyarakat yang mendukung kepercayaan mitos Saranjana di Kotabaru. Intinya, jika ada yang mencari daerah Saranjana, sebagian besar tidak akan ditemukan,” kata sejarawan Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Mansyur dalam jurnalnya berjudul “Saranjana in Historical Record: The City’s Invisibility in Pulau Laut, South Kalimantan” (2018).

Mansyur menjelaskan, Saranjana dikaitkan dengan legenda penciptaan gunung Sebatung di Pulau Laut Kelautan, Kotabaru, Kalimantan Selatan, yang kala itu menjadi pusat Kerajaan Pulau Halimun.

Dikisahkan, Raja Pakurindang memiliki dua anak yang sering bertengkar, yaitu Sambu Ranjana dan Sambu Batung.

Sang raja ingin menyudahi pertikaian kedua putranya dengan membagi wilayah kekuasaannya. Sambu Batung akhirnya menguasai alam manusia yang kemudian menjelma menjadi Gunung Sebatung.

Lalu, Sambu Ranjana memilih jalan lain untuk membangun kota Saranjana di alam gaib.

Sedangkan Normasunah dalam penelitiannya berjudul “Mitos dalam Legenda Kerajaan Pulau Halimun di Kabupaten Kotabaru” (2017), Sambu Batung merupakan putra pertama Raja Pakurindang yang memiliki sifat mudah bergaul, lincah dan terbuka.

Ia menjelma menjadi gunung Sebatung dalam legenda Kerajaan Pulau Halimun.

Sebaliknya, putra kedua, Sambu Ranjana, memiliki sifat pendiam, tertutup, tak suka bergaul, tak suka keramaian, dan apa adanya. Ia menjelma menjadi Gunung Saranjana di sebelah Gunung Jambangan.

Ia mengembangkan Kota Saranjana yang konon katanya tak bisa dilihat oleh mata awam atau disebut kota gaib.

Bila dilihat secara seksama, konon kota tersebut sangat indah, teduh, rapi dan memiliki jalan raya yang lebar. Di sana juga terdapat gedung dan perumahan mewah yang dilengkapi pagar sangat tinggi.

Penduduknya kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani. Perekonomian makmur. Saat musim haji, penduduknya sering berangkat ke Tanah Suci.

“Wujud mitos ‘adanya kehidupan bermasyarakat layaknya kehidupan yang terjadi di kehidupan nyata’ seperti mata pencaharian orang Saranjana bertani hingga musim haji pun orang Saranjana banyak naik haji. Fungsi dari mitos tersebut memberi pandangan bahwa adanya alam gaib,” tulis Normasunah.

Hipotesa lainnya diutarakan Mansyur. Saranjana merupakan wilayah suku Dayak Samihim yang bermukim di Pulau Luat (Pulau Halimun). Suku ini bagian dari rumpun Dayak Maanyan yang terpisah ke Pulau Laut akibat terjadi penaklukan oleh kerajaan Negara Dipa (cikal bakal Kesultanan Banjar).

Berdasarkan sumber lisan dan wadian (nyanyian), Dayak Maanyan merupakan bagian dari kerajaan yang dikenal dengan nama Nan Sarunai. Kerajaan ini dirusak oleh pasukan yang berasal dari Marajampahit (Majapahit).

Saat itu, salah seorang saudagar dan penguasa bernama Empu Jatmika (Ampu Jatmaka) memerintahkan panglimanya, Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa. Keduannya diminta mengerahkan pasukan untuk menakklukan orang Maanyan agar mau menjadi bagian dari Kerajaan Negara Dipa.

“Kapan waktu keberadaan wilayah Saranjana yang diperkirakan adalah Suku Dayak Samihim? Diduga sebelum tahun 1660-an masehi atau sebelum abad ke-17,” jelas Mansyur.

Hal itu sesui hasil penelitian sejarawan dari Universitas London bernama Goh Yoon Fong berjudul “Trade and Politics in Banjarmasin 1700-1747” pada 1969. Goh Yoon Fong menuliskan, ketika Raden Bagus atau Sultan Amarullah Bagus Kusuma menjadi raja Kesultanan Banjar pada 1660-1663, menimbulkan prahara di antara para pewaris lainnya. Ketika dirinya diangkat menjadi sultan, banyak kalangan istana yang kecewa.

Salah satunya adalah Pangeran Purabaya yang kemudian mendapatkan hadiah tanah apanage (lungguh) di Pulau Laut sebagai tanda perdamaian. Tapi Purabaya merasa belum cukup dan melakukan penyerangan ke Kesultanan Banjar dengan bantuan pasukan Biaju dan Bugis. Ia akhirnya terbunuh pada akhir 1717 setelah mendapatkan serangan balik dari pasukan Kesultanan Banjar.

Selain Purabaya, anaknya yang bernama Gusti Busu juga ikut terbunuh dalam serangan tersebut. Karena kalah, orang-orang Biaju yang membantunya lari ke pedalaman, sedangkan orang Bugis tertinggal dan masih bertahan. Setelah kekuatan Purabaya dan Gusti Busu hancur, pulau itu dikontrakan kepada penguasa VOC.

Saranjana merupakan mitos tentang daerah atau pemerintahan kerajaan yang maju sebagai cita-cita Pangeran Purabaya dan anaknya, Gusti Busu.

“Jadi wilayah Saranjana adalah semacam memori kolektif dari negeri impian pemilik tanah apanage di Pulau Laut. Kemungkinan besar daerah sekitar Saranjana adalah lokasi pusat pemerintahan tanah apanage Pangeran Purabaya dan Gusti Busu,” pungkas Mansyur.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button